Jumat, 11 Mei 2012

Krisis Moralitas Mahasiswa

(Terbit: Pikiran Rakyat Edisi Kamis, 19 April 2012)

Menurut kamus besar bahasa indonesia arti kata mahasiswa adalah orang yang belajar diperguruan tinggi. Kata mahasiswa sendiri terdiri dari kata maha dan siswa, maha berarti sangat, tinggi sedangkan siswa berarti murid, pelajar. Melihat pengertian tersebut mahasiswa dapat diartikan sebagai orang yang belajar di perguruan tinggi dan memiliki kemampuan yang sangat baik dalam pelajaran atau dengan kata lain pintar dan cerdas.
Mahasiswa adalah manusia yang terdidik. Dengan pendidikan yang dienyam di kampus, mahasiswa diharapkan akan menjadi manusia seutuhnya karena fungsi pendidikan adalah memanusiakan manusia dan mengubah karakter seseorang menjadi lebih baik. Mahasiswa pun dianggap sebagai kaum muda yang memiliki begitu banyak potensi yang akan dikembangkan dalam ruang bernama kampus. Semua itu membuat masyarakat selalu menantikan sepak terjang mahasiswa untuk masa depan bangsa ke arah yang lebih baik.
Mahasiswa memang identik dengan intelektual, pemikiran kritis dan sepak terjang dalam usaha memajukan bangsa. Mahasiswa pun selalu diharapkan menjadi manusia tangguh yang memiliki kemampuan dan akhlak mulia yang dapat menggantikan generasi-generasi sebelumnya. Semua itu berartikan bahwa mahasiswa merupakan aset, cadangan dan harapan bangsa untuk kemajuan suatu bangsa. Masa depan suatu bangsa dapat terlihat dari para penerus bangsanya salah satunya dapat dilihat dari pola tingkah laku mahasiswa.
Pada hakikatnya mahasiswa memiliki tiga peran vital dalam kehidupan bermasyarakat. Pertama mahasiswa berperan sebagai agent of change yaitu sebagai garda terdepan pelaku perubahan yang diharapkan dalam rangka kemajuan bangsa. Dilakukan dengan memperjuangkan hak-hak rakyat kecil dan mengembalikan nilai-nilai kebenaran yang diselewengkan oleh oknum-oknum elit. Kedua, sebagai agent of problem solver yaitu pemberi solusi dari setiap persolaan yang terjadi dalam lingkungan dan bangsanya sendiri dengan berbagai analisa, pemikiran kritis dan kajian-kajian akademik yang dilakukan. Ketiga, mahasiswa sebagai agent of control yaitu mengontrol apabila terdapat penyimpangan yang dilakukan para penguasa.


Krisis Moralitas
Ironis, mahasiswa sekarang sudah lupa pada tugas dan hakikatnya, ibarat sebuah peribahasa yaitu “bagai macan yang kehilangan taringnya”. Mahasiswa yang katanya merupakan kaum intelektual mempunyai pemikiran kritis, analisa tajam, serta diharapkan untuk memperjuangkan masa depan bangsa, seakan-akan kehilangan rohnya. Peran kebajikan sebagai mahasiswa seolah terlupakan dan cenderung tidak dipikirkan lagi, semua itu terlihat dari kehidupan mahasiswa dewasa ini. Ketika hedonisme dielu-elukan, trend dan mode dituhankan dan kampus dijadikan jalannya yang terjadi hanyalah sebuah kekerdilan pemikiran para mahasiswa. Kampus sebagai pusat peradaban kaum intelektual pun kini tak lebih terlihat sebagai pusat fashion show mahasiswa dan tempat bermain mengisi waktu bersama teman-teman.
Perilaku menyimpang seperti mengonsumsi miras, narkoba hingga seks bebas pun sudah banyak dilakukan mahasiswa yang katanya intelektual itu bahkan berdasarkan penelitian di berbagai kota besar di Indonesia, sekitar 20 hingga 30 persen remaja mengaku pernah melakukan hubungan seks. Semua itu dilakukan para remaja yang didalamnya terdiri dari mahasiswa. Inikah perilaku mahasiswa yang dikatakan intelektual itu?
Tekad perjuangan para mahasiswa hilang dan idealisme mahasiswa pun lenyap, yang terjadi sebenarnya adalah masa depan bangsa sedang dalam keadaan yang kritis. Masa depan bangsa sedang dipertaruhkan di tengah para penerus bangsa (mahasiswa) yang tidak lagi memiliki kemauan memajukan bangsa yang sedang sakit ini. Sedikit sekali mahasiswa yang berminat untuk mengikuti kegiatan-kegiatan seminar dan lomba karya tulis ilmiah. Mereka lebih suka menonton acara-acara televisi seperti acara lawak yang justru tidak ada kaitannya dengan dunia mahasiswa, semua itu terlihat jelas ketika acara televisi tersebut sedang berlangsung dan dihadiri oleh banyak mahasiswa dari berbagai universitas.
Miris memang melihat kenyataan yang terjadi ini. Namun, kita harus berani mengungkapkan realitas yang terjadi agar ke depan pola perilaku seperti itu dapat kita ubah bersama-sama. Kelak semua mahasiswa akan kembali pada hakikatnya dan lepas dari belenggu krisis moralitasyang sedang banyak terjadi. Namun, dibalik semua itu percayalah masih ada mahasiswa yang memiliki pemikiran-pemikiran yang kritis, tekad perjuangan dan semangat yang tinggi untuk memajukan bangsa menjadi lebih baik. Walaupun sedikit, hal tersebut bagaikan setitik sinar yang dapat menyinari kegelapan dan perlahan menerangi sisi-sisi ruang gelap dengan sangat terang. Semoga kita termasuk ke dalam setitik sinar dalam kegelapan tersebut dan tergolong ke dalam mahasiswa yang sebenarnya.

Penulis, Imam Akhmad.

Sumpah Pemuda Sudah (kah) Tua

(Terbit: Galamedia Kamis 3 November 2011)

Delapan puluh tiga tahun yang lalu tentunya kita ingat bagaimana gejolak para pemuda untuk melahirkan negara Indonesia. Gejolak itu melahirkan sebuah sumpah yaitu sumpah pemuda. Sumpah pemuda bermula dari gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua yang berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.
Sejarah Singkat
Rapat pertama berlangsung pada hari Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng. Moehammad Jamid menguraikan sebuah rumusan mengenai hal yang dapat memperkuat persatuan Indonesia, yaitu; Sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan dan kemauan.
Rapat kedua berlangsung pada hari Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop. Poernowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro mengemukakan bahwa pendidikan kebangsaan dan demokratis harus diterapkan.
 Rapat Ketiga berlangsung di Gedung Indonesisch Huis Kramat. Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, dan hal itu yang dibutuhkan dalam perjuangan.
Sebelum kongres ditutup, diperdengarkan lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda.
Peran Pemuda dalam Pembangunan
Sumpah Pemuda lahir dari gejolak para pemuda Indonesia, dan kita pun sangat bangga melihat betapa bersemangatnya pemuda saat itu. Kebanggaan kita dengan lahirnya sumpah pemuda terbukti dengan adanya peringatan setiap tahunnya, tapi apalah artinya sumpah pemuda bila hanya dijadikan suatu peringatan dan ceremonial belaka. Pun arti sumpah pemuda perlahan akan luntur dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya hilang tak membekas.
 Pemuda adalah para penerus bangsa, cerminan masa depan sebuah negara dapat terlihat dari tingkah-laku para pemudanya sendiri. Bung karno pernah berkata “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kugoncangkan dunia”. Sebuah kalimat yang jelas mengisyaratkan bahwa pemuda sangat penting dalam pembangunan dan kemajuan suatu negara.
Pemuda seyogiyanya bisa menjadi panutan dalam pembangunan Indonesia. Kontras, pemuda yang dulu bergejolak memajukan Indonesia kini tidak sedikit yang malah berperilaku sebaliknya. Para pelajar rajin melakukan kerusuhan antar pelajar bahkan terakhir terjadi kerusuhan pelajar dengan wartawan. Pun mahasiswa tidak ingin kalah mereka lebih rajin melakukan demo terhadap pemerintahan bahkan tidak sedikit yang berakhir kerusuhan. Memang pemuda yang kritis menjadi salahsatu modal baik bagi kemajuan bangsa tapi semua itu pun harus disalurkan dengan benar pula, bukan dengan kerusuhan yang tidak akan menghasilkan apa-apa.
Ironis memang, itulah kata yang mungkin ada dibenak kita. Ketika para penerus bangsa ini yaitu para pemuda lebih mengutamakan emosional dari pada intelektual, ketika akal sehat berubah menjadi akal sesat. Letusan senjata, tumpahan darah bahkan hilangnya nyawa menghiasi hari-hari dalam kehidupan bermasyarakat. Tak ada lagi tawa, tak ada lagi canda yang sering terdengar dan tergumam. Teriakan-teriakan emosional dan tindakan-tindakan kriminal dianggap cara baik menyelesaikan masalah. Semua tindakan itu dilakukan pemuda yang seharusnya menjadi ujung tombak (avant garde) dalam pembangunan bukan malah menjadi momok bagi masyarakat luas.
Tua dan renta, mungkin inilah kata yang cocok dengan arti dari sumpah pemuda sehingga tidak membekas dalam pemuda di-era kekinian. Pemerintah seharusnya kita benahi bersama bukan kita rusak dan kacaukan. Masih ada ruang intelektual tanpa emosional yang luas, masih ada musyawarah mufakat yang melekat di setiap lembar negeri ini.
Hari Sumpah Pemuda 28 oktober 2011 lalu, seyogiyanya menjadi cermin bagi kita untuk melihat perjuangan pemuda Indonesia dulu. Marilah para pemuda rapatkan barisan, bulatkan tekad untuk memajukan negara ini. Perjuangan yang bersih tanpa adanya kekerasan yang tertuang.

Penulis, Imam Akhmad, Mahasiswa.