Pada tahun 2009 saya memulai kuliah di prodi bahasa.
Pada tahun yang sama mulai belajar menulis, diawali mata kuliah menulis yang
diampu Dr. Engkos Kosasih. Saat itu tulisan yang saya serahkan kepada beliau,
dianggap biasa. Saat itu hanya dibaca sepintas karena sudah jelas terlihat ide
tulisannya.
*
Saya pun berjibaku belajar menulis. Beberapa hasil
tulisan orang-orang terkenal saya baca, mulai dari genre prosa, puisi, bahkan
opini di media cetak. Memang belajar terbaik bisa didapat dari orang-orang
terbaik pula.
*
Bagi para penulis pemula, tulisan yang dimuat di media
cetak seperti koran atau majalah merupakan impian. Saya pun rutin membaca koran
dan menulis isu-isu hangat saat. Alhasil, saya menulis rutin sampai 10 tulisan
dan tak ada satu pun yang diterbitkan. Namun, saya terus menulis. Selain isi, ejaan,
diksi, hingga susunan kalimat menjadi perhatian utama. Penulisan yang baik
ditambah konten yang baik akan menjadikan tulisan kita dipertimbangkan redaksi
untuk diterbitkan.
*
Beberapa tahun menjadi tahun yang menyenangkan bagi saya
untuk menulis. Beberapa tulisan saya diterbitkan di koran-koran. Saya pun
sempat memenangkan menulis dan mendapat penghargaan dari rektor. Memang,
kesenangan penulis yaitu ketika tulisannya dibaca dan menggugah pikiran para
pembaca.
*
Saya pun berulangkali menulis surat pembaca mengenai
berbagai permasalahan yang terjadi di sekitar. Tak lupa saya cantumkan email
dan nomor HP. Setelah tulisan dimuat, berbagai komentar pesan masuk HP dan
email bermunculan. Berbagai tanggapan diuraikan. Hal ini yang paling
menyenangkan juga. Usulan kita, ide yang kita tulis menjadi pemantik untuk
berpikir kritis. Saat itu, masyarakat pembaca menjadikan tulisan sebagai alat
untuk berbagi pemikiran dan untuk urun usul dalam berbagai permasalahan. Tentu,
tak ada ujaran kebencian, hinaan, atau kalimat sarkas lainnya.
*
Bak bumi dan langit. Lain dahulu, lain sekarang. Media sosial berkembang
pesat, membumi dan menjadi gaya hidup banyak orang. Dahulu penulis perlu
berpikir keras mengenai tulisannya, isinya harus bisa dipertanggungjawabkan dan
penggunaan bahasanya harus baik dan benar. Sekarang, semua orang bisa menulis segala
keluh kesahnya, semua orang bisa menanggapi berita yang terbaru, semua orang
bisa berkomentar, dan tulisan yang tersebar tanpa tahap dapur redaksi seperti
tulisan yang masuk ke media cetak.
*
Senang memang, kini semua orang terbiasa menulis dengan
dua jempolnya melalui gawai yang dipegang. Celakanya, tulisan tanpa cek
kebenaran tersebar luas, istilah sekarang disebut hoaks. Penulisan dengan
ejaan, diksi, dan kaidah kebahasaan yang begitu buruk tersebar luas. Dahulu
pembaca koran terlatih nalar kritis dalam menyikapi kebenaran berita, kini banyak
pembaca mudah sekali termakan berita hoaks. Akhirnya dia sebar kembali di media
sosialnya, di WA grup miliknya, bahkan masuk WA keluarga. Dahulu pembaca
terlatih kebahasaannya karena setiap hari membaca tulisan yang baik, tetapi
kini sebaliknya, masyarakat pembaca senantiasa membaca tulisan dengan kebahasaan
yang buruk, jauh dari kata baik dan benar, hingga tidak sedikit yang tidak bisa
membedakan penulisan “di” yang ditulis serangkai atau dipisah (kata depan atau
imbuhan). Lebih serius, banyak generasi millenial yang tidak mampu menyusun
kalimat dan paragraf dengan baik. Hal ini begitu terasa ketika saya memberikan
kuliah penulisan kepada mahasiswa.
*
Sungguh sedih melihat fenomena yang terjadi. Apalagi,
beberapa waktu lalu ketika masa-masa pemilihan presiden. Masyarakat begitu
gencar menulis bernada kebencian, kasar dan kejam tanpa tedeng aling-aling.
Saya memilih banyak diam melihat fenomena ini. Namun, setelah dipikir kembali,
justru penulis terpelajar harus terus bersuara lewat tulisannya. Apabila diam dan
bungkam, tulisan dengan isi ujaran kebencian dan kaidah penulisan yang buruk
akan terus menguasai dunia maya dan dibaca banyak orang. Semoga ke depan
bermunculan penulis di dunia maya yang senantiasa mempertimbangkan isi tulisan
dan memperhatikan kaidah bahasa dalam tulisannya. Yuk, sebar tulisan-tulisan
berkualitas. Kendaliki diri, pikir-pikir kembali ketika hendak memainkan jempol
di keyboard gawai kita.