Minggu, 05 Januari 2020

Dahulu Menulis Mengasah Kritis, Kini Mengasah Kebencian

oleh: Imam Akhmad, M.Pd. (Dosen di ISBI Bandung)

Pada tahun 2009 saya memulai kuliah di prodi bahasa. Pada tahun yang sama mulai belajar menulis, diawali mata kuliah menulis yang diampu Dr. Engkos Kosasih. Saat itu tulisan yang saya serahkan kepada beliau, dianggap biasa. Saat itu hanya dibaca sepintas karena sudah jelas terlihat ide tulisannya.
*
Saya pun berjibaku belajar menulis. Beberapa hasil tulisan orang-orang terkenal saya baca, mulai dari genre prosa, puisi, bahkan opini di media cetak. Memang belajar terbaik bisa didapat dari orang-orang terbaik pula.
*
Bagi para penulis pemula, tulisan yang dimuat di media cetak seperti koran atau majalah merupakan impian. Saya pun rutin membaca koran dan menulis isu-isu hangat saat. Alhasil, saya menulis rutin sampai 10 tulisan dan tak ada satu pun yang diterbitkan. Namun, saya terus menulis. Selain isi, ejaan, diksi, hingga susunan kalimat menjadi perhatian utama. Penulisan yang baik ditambah konten yang baik akan menjadikan tulisan kita dipertimbangkan redaksi untuk diterbitkan.
*
Beberapa tahun menjadi tahun yang menyenangkan bagi saya untuk menulis. Beberapa tulisan saya diterbitkan di koran-koran. Saya pun sempat memenangkan menulis dan mendapat penghargaan dari rektor. Memang, kesenangan penulis yaitu ketika tulisannya dibaca dan menggugah pikiran para pembaca.
*
Saya pun berulangkali menulis surat pembaca mengenai berbagai permasalahan yang terjadi di sekitar. Tak lupa saya cantumkan email dan nomor HP. Setelah tulisan dimuat, berbagai komentar pesan masuk HP dan email bermunculan. Berbagai tanggapan diuraikan. Hal ini yang paling menyenangkan juga. Usulan kita, ide yang kita tulis menjadi pemantik untuk berpikir kritis. Saat itu, masyarakat pembaca menjadikan tulisan sebagai alat untuk berbagi pemikiran dan untuk urun usul dalam berbagai permasalahan. Tentu, tak ada ujaran kebencian, hinaan, atau kalimat sarkas lainnya.
*
Bak bumi dan langit. Lain dahulu, lain sekarang. Media sosial berkembang pesat, membumi dan menjadi gaya hidup banyak orang. Dahulu penulis perlu berpikir keras mengenai tulisannya, isinya harus bisa dipertanggungjawabkan dan penggunaan bahasanya harus baik dan benar. Sekarang, semua orang bisa menulis segala keluh kesahnya, semua orang bisa menanggapi berita yang terbaru, semua orang bisa berkomentar, dan tulisan yang tersebar tanpa tahap dapur redaksi seperti tulisan yang masuk ke media cetak.
*
Senang memang, kini semua orang terbiasa menulis dengan dua jempolnya melalui gawai yang dipegang. Celakanya, tulisan tanpa cek kebenaran tersebar luas, istilah sekarang disebut hoaks. Penulisan dengan ejaan, diksi, dan kaidah kebahasaan yang begitu buruk tersebar luas. Dahulu pembaca koran terlatih nalar kritis dalam menyikapi kebenaran berita, kini banyak pembaca mudah sekali termakan berita hoaks. Akhirnya dia sebar kembali di media sosialnya, di WA grup miliknya, bahkan masuk WA keluarga. Dahulu pembaca terlatih kebahasaannya karena setiap hari membaca tulisan yang baik, tetapi kini sebaliknya, masyarakat pembaca senantiasa membaca tulisan dengan kebahasaan yang buruk, jauh dari kata baik dan benar, hingga tidak sedikit yang tidak bisa membedakan penulisan “di” yang ditulis serangkai atau dipisah (kata depan atau imbuhan). Lebih serius, banyak generasi millenial yang tidak mampu menyusun kalimat dan paragraf dengan baik. Hal ini begitu terasa ketika saya memberikan kuliah penulisan kepada mahasiswa.
*
Sungguh sedih melihat fenomena yang terjadi. Apalagi, beberapa waktu lalu ketika masa-masa pemilihan presiden. Masyarakat begitu gencar menulis bernada kebencian, kasar dan kejam tanpa tedeng aling-aling. Saya memilih banyak diam melihat fenomena ini. Namun, setelah dipikir kembali, justru penulis terpelajar harus terus bersuara lewat tulisannya. Apabila diam dan bungkam, tulisan dengan isi ujaran kebencian dan kaidah penulisan yang buruk akan terus menguasai dunia maya dan dibaca banyak orang. Semoga ke depan bermunculan penulis di dunia maya yang senantiasa mempertimbangkan isi tulisan dan memperhatikan kaidah bahasa dalam tulisannya. Yuk, sebar tulisan-tulisan berkualitas. Kendaliki diri, pikir-pikir kembali ketika hendak memainkan jempol di keyboard gawai kita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar