Jumat, 09 November 2012

(Dimana) Letak Kekuatan Cinta

Terbit dalam koran Bandung Ekspres

                    “There’s a place in your heart, And I know that it is love
And this place could be much, Brighter than tomorrow.
And if you really try, You’ll find there’s no need to cry
In this place you’ll feel, There’s no hurt or sorrow.
There are ways to get there, If you care enough for the living
Make a little space, make a better place”.
(Heal The World- Michael Jackson)

Kita semua pasti tahu dengan lagu Heal the world yang dinyanyikan oleh Michel Jackson. Lagu yang penuh pesan kedamaian tersebut merupakan karya yang paling dibanggakan Michael Jackson semasa hidupnya. Sepotong bait diatas mewakili bahwa Michael Jackson selalu bermimpi betapa indahnya dunia apabila penuh cinta dan kedamaian. Lagu tersebut pun merupakan surat cinta Michael Jackson untuk kita semua. Dalam lirik tersebut terdapat satu kalimat yang menarik yaitu And I know that it is love (Dan saya tahu itu adalah cinta). Disinilah ternyata memang cinta sangat penting bagi kehidupan karena dapat menciptakan kehidupan yang penuh kedamaian.
Pada hakikatnya manusia merupakan mahluk yang mulia. Manusia diberikan kesempurnaan yang lebih dari mahluk hidup lainnya. Kesempurnaan yang dimaksud adalah manusia memiliki akal pikiran yang berguna segabai penalaran nilai rasa yang akan berefek pada penilaian pembeda hal yang baik dan buruk.
Manusia adalah hamba kebaikan. Secara fitrah setiap manusia mencintai keindahan, perdamaian dan membenci kedzaliman (keburukan). Dengan akal pikiran yang berhubungan erat dengan perasaan pada hakikatnya manusia memiliki kecenderungan kepada hal yang baik. Semua itu memiliki artian bahwa tanpa melalui studi, pengkajian, bimbingan atau pemikiran rasional, manusia dapat memahami atau menilai sesuatu hal.
Semua fitrah yang dimiliki manusia tersebut adalah hal yang dinamakan cinta. Bahkan seorang pujangga bernama Jalaluddin Rumi pernah berkata “cinta dapat mengubah pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara menjadi telaga, derita menjadi nikmat, dan kemarahan menjadi rahmat. Cintalah yang mampu melunakkan besi, menghancurkan batu karang, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan padanya serta membuat budak menjadi pemimpin”. Inilah dasyatnya cinta ketika kita mengetahui bahwa cintalah yang berperan dalam kehidupan manusia.
Cinta Ciptakan Perdamaian
Seiring berkembangnya zaman, peperangan terjadi antara satu Negara dengan Negara lain, antara satu organisasi dengan organisasi lain bahkan antara satu orang dengan orang lain. Dewasa ini pun premanisme kian merajalela dan kerusuhan semakin banyak terjadi bahkan sudah menjadi hal biasa di kalangan pelajar dan mahasiswa yang katanya berpendidikan itu. Ironis, pelajar dan mahasiswa yang seharusnya berjuang untuk menggapai cita-cita dan berusaha memajukan bangsa justru rajin melakukan kekerasan yang banyak merenggut korban jiwa. Rasa aman dan tentram pun tak akan pernah tercipta, kecemasan dan ketakutanlah yang akan selalu hadir dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.
Pada dasarnya perselisihan terjadi karena adanya ketidaksesuaian (perbedaan). Semua perbedaan pun sebenarnya tidak harus diselesaikan dengan kekerasan dan pertengkaran bila kita mengerti akan hakikat manusia yang diciptakan berbeda-beda. Perbedaan yang ada dapat kita selesaikan apabila kita semua mulai menumbuhkan rasa cinta terhadap sesama. Adanya perbedaan seperti perbedaan warna kulit, agama, ideologi, budaya seharusnya menjadi dasar tumbuhnya rasa cinta terhadap sesama dan kita harus saling melengkapi. Dalam sebuah makna cinta yang sesungguhnya akan terlahir rasa peka dan peduli terhadap sesama. Di balik ketulusan sebuah cintalah akan lahir kasih sayang yang mendalam pada diri kita.
Melalui makna cinta yang sebenarnya manusia dapat hidup berdampingan. Dengan cinta, dunia ini akan aman dan tentram. Teriakan-teriakan emosional tak akan lagi terdengar, tindakan tindakan brutal tak akan lagi telihat dan Tangisan kehilangan sanak famili tidak akan ada lagi. Semua itu hanya akan tercipta andai semua manusia mengerti akan hakikat dirinya yakni sebagai mahluk penuh cinta. Cinta kepada sesama manusia dan kepada sang pencipta. 

Jumat, 29 Juni 2012

Beasiswa, Bantuan atau Pencitraan?


Terbit Koran Pikiran Rakyat, edisi: kamis, 28 Juni 2012

Berawal dari perkataan seorang mahasiswa yang mengeluh tentang beasiswa di kampusnya tulisan ini saya buat. Seorang mahasiswa bernama Anandia Anisa berkata dalam akun jejaring sosialnya “Orang yang bermotor dan hidup glamour kok dapat beasiswa BBM (Beban Biaya Mahasiswa), aneh”. Perkataan tersebut merupakan luapan kekeceawan kepada kebijakan kampus yang memberikan beasiswa BBM (beasiswa kurang mampu) kepada orang yang justru sangat mampu.
Pada hakikatnya beasiswa adalah salah satu bantuan berupa uang atau pembebasan biaya kuliah terhadap mahasiswa. Beasiswa sendiri terdiri dari dua jenis yaitu beasiswa untuk siswa berprestasi dan kurang mampu. Dengan adanya beasiswa mahasiswa dapat terbantu dalam biaya perkuliahan sehingga dapat lebih berkonsentrasi menuntut ilmu di ruang bernama kampus. Adanya beasiswa tersebut memang akan memberikan dampak yang cukup baik ditengah mahalnya biaya kuliah di perguruan tinggi. Beasiswa mampu mengurangi beban biaya mahasiswa sedangkan mahasiswa memiliki semangat untuk menuntut ilmu dan mengejar cita-citanya.
Pendidikan memanglah penting karena pendidikan mampu mengubah karakter seseorang menjadi lebih baik dan hakikatnya pendidikan dapat memanusiakan manusia. Namun, seiring dengan urgensi pendidikan dalam kehidupan, biaya pendidikan justru semakin melambung tinggi. Biaya masuk perguruan tinggi semakin tahun semakin tinggi bahkan biaya semester (spp) pun seringkali latah. Pun perguruan tinggi lainnya seolah latah mengakibatkan biaya pendidikan semakin tahun semakin mahal. Beasiswa pun menjadi hal yang penting karena dapat memberikan keringanan biaya pada mahasiswa.
Seiring dengan urgensi beasiswa dalam lembaga pendidikan tinggi, ironis justru penyalurannya seringkali tidak tepat sasaran. Kasus yang dikatakan Anandia Anisa merupakan salah satu bukti nyata salah sasarannya penyaluran beasiswa pada mahasiswa. Ketika beasiswa diberikan kepada yang mampu dan yang tidak mampu tidak mendapatkannya maka yang terjadi hanyalah sebuah keironisan dalam dunia pendidikan tinggi. Pun ketika beasiswa berprestasi diberikan kepada yang prestasinya biasa-biasa saja maka yang sedang terjadi adalah sebuah fenomena kedzaliman terhadap mahasiswa berprestasi.
Semua gambaran seperti itu sangat boleh dijadikan argumen bahwa kampus sebenarnya tidak memedulikan mahasiswanya. Beasiswa yang diberikan terkesan sebagai pencitraan agar kampus terlihat memerhatikan mahasiswa sehingga kampus akan terlihat baik di mata sebagian orang. Kampus yang merupakan ruang pembelajaran berbau akademis pun sebenarnya tak lebih dari lembaga bisnis yang menjaring mahasiswa sebagai konsumen, penyaluran beasiswa yang terkesan asal-asalan lah menjadi salah satu bukti. Iming-iming lembaga pendidikan tinggi berkualitas serta banyaknya beasiswa pun menjadi umpan yang jitu.
Sama halnya dengan beasiswa kampus, beasiswa swasta pun banyak diberikan saat ini. Beasiswa tersebut merupakan bantuan dari perusahaan swasta yang katanya bertujuan membantu biaya jenjang pendidikan mahasiswa. Para mahasiswa pun banyak yang meneteskan air liurnya karena ingin mendapatkan beasiswa-beasiswa tersebut.
Dibalik semua itu terdapat pertanyaan besar yaitu apakah beasiswa yang diberikan swasta merupakan bantuan yang benar-benar bertujuan membantu biaya perkuliahan yang mahal ataukah beasiswa dijadikan sebagai alat pencitraan? Pencitraan tersebut yaitu perusahaan swasta akan mendapatkan image bahwa mereka peduli terhadap pendidikan sehingga beasiswa dapat dijadikan alat penyumbat agar aliran kritikan mahasiswa tidak tertuju pada perusahaan tersebut. Pencitraan tersebut pun kian jelas ketika perusahaan yang memberikan beasiswa adalah perusahaan besar seperti perusahaan rokok. Apakah semua itu adalah suap agar mahasiswa tidak banyak melakukan protes terhadap rokok atau justru sebagai media iklan?
Memang adanya beasiswa sangat memberikan rasa gembira disaat biaya pendidikan yang tidak murah seperti saat ini. Namun dibalik itu semua jangan sampai beasiswa dijadikan sebagai alat pencitraan, baik pencitraan sebuah kampus atau perusahaan besar. Beasiswa bukanlah alat pencitraan melainkan dana bantuan yang seharusnya didapatkan oleh mahasiswa yang berhak (berprestasi dan tidak mampu) agar mahasiswa dapat dengan nyaman menuntut ilmu di lembaga pendidikan tinggi. wallahu’alam bissawab.

Penulis, Imam Akhmad. Mahasiswa.

Jumat, 11 Mei 2012

Krisis Moralitas Mahasiswa

(Terbit: Pikiran Rakyat Edisi Kamis, 19 April 2012)

Menurut kamus besar bahasa indonesia arti kata mahasiswa adalah orang yang belajar diperguruan tinggi. Kata mahasiswa sendiri terdiri dari kata maha dan siswa, maha berarti sangat, tinggi sedangkan siswa berarti murid, pelajar. Melihat pengertian tersebut mahasiswa dapat diartikan sebagai orang yang belajar di perguruan tinggi dan memiliki kemampuan yang sangat baik dalam pelajaran atau dengan kata lain pintar dan cerdas.
Mahasiswa adalah manusia yang terdidik. Dengan pendidikan yang dienyam di kampus, mahasiswa diharapkan akan menjadi manusia seutuhnya karena fungsi pendidikan adalah memanusiakan manusia dan mengubah karakter seseorang menjadi lebih baik. Mahasiswa pun dianggap sebagai kaum muda yang memiliki begitu banyak potensi yang akan dikembangkan dalam ruang bernama kampus. Semua itu membuat masyarakat selalu menantikan sepak terjang mahasiswa untuk masa depan bangsa ke arah yang lebih baik.
Mahasiswa memang identik dengan intelektual, pemikiran kritis dan sepak terjang dalam usaha memajukan bangsa. Mahasiswa pun selalu diharapkan menjadi manusia tangguh yang memiliki kemampuan dan akhlak mulia yang dapat menggantikan generasi-generasi sebelumnya. Semua itu berartikan bahwa mahasiswa merupakan aset, cadangan dan harapan bangsa untuk kemajuan suatu bangsa. Masa depan suatu bangsa dapat terlihat dari para penerus bangsanya salah satunya dapat dilihat dari pola tingkah laku mahasiswa.
Pada hakikatnya mahasiswa memiliki tiga peran vital dalam kehidupan bermasyarakat. Pertama mahasiswa berperan sebagai agent of change yaitu sebagai garda terdepan pelaku perubahan yang diharapkan dalam rangka kemajuan bangsa. Dilakukan dengan memperjuangkan hak-hak rakyat kecil dan mengembalikan nilai-nilai kebenaran yang diselewengkan oleh oknum-oknum elit. Kedua, sebagai agent of problem solver yaitu pemberi solusi dari setiap persolaan yang terjadi dalam lingkungan dan bangsanya sendiri dengan berbagai analisa, pemikiran kritis dan kajian-kajian akademik yang dilakukan. Ketiga, mahasiswa sebagai agent of control yaitu mengontrol apabila terdapat penyimpangan yang dilakukan para penguasa.


Krisis Moralitas
Ironis, mahasiswa sekarang sudah lupa pada tugas dan hakikatnya, ibarat sebuah peribahasa yaitu “bagai macan yang kehilangan taringnya”. Mahasiswa yang katanya merupakan kaum intelektual mempunyai pemikiran kritis, analisa tajam, serta diharapkan untuk memperjuangkan masa depan bangsa, seakan-akan kehilangan rohnya. Peran kebajikan sebagai mahasiswa seolah terlupakan dan cenderung tidak dipikirkan lagi, semua itu terlihat dari kehidupan mahasiswa dewasa ini. Ketika hedonisme dielu-elukan, trend dan mode dituhankan dan kampus dijadikan jalannya yang terjadi hanyalah sebuah kekerdilan pemikiran para mahasiswa. Kampus sebagai pusat peradaban kaum intelektual pun kini tak lebih terlihat sebagai pusat fashion show mahasiswa dan tempat bermain mengisi waktu bersama teman-teman.
Perilaku menyimpang seperti mengonsumsi miras, narkoba hingga seks bebas pun sudah banyak dilakukan mahasiswa yang katanya intelektual itu bahkan berdasarkan penelitian di berbagai kota besar di Indonesia, sekitar 20 hingga 30 persen remaja mengaku pernah melakukan hubungan seks. Semua itu dilakukan para remaja yang didalamnya terdiri dari mahasiswa. Inikah perilaku mahasiswa yang dikatakan intelektual itu?
Tekad perjuangan para mahasiswa hilang dan idealisme mahasiswa pun lenyap, yang terjadi sebenarnya adalah masa depan bangsa sedang dalam keadaan yang kritis. Masa depan bangsa sedang dipertaruhkan di tengah para penerus bangsa (mahasiswa) yang tidak lagi memiliki kemauan memajukan bangsa yang sedang sakit ini. Sedikit sekali mahasiswa yang berminat untuk mengikuti kegiatan-kegiatan seminar dan lomba karya tulis ilmiah. Mereka lebih suka menonton acara-acara televisi seperti acara lawak yang justru tidak ada kaitannya dengan dunia mahasiswa, semua itu terlihat jelas ketika acara televisi tersebut sedang berlangsung dan dihadiri oleh banyak mahasiswa dari berbagai universitas.
Miris memang melihat kenyataan yang terjadi ini. Namun, kita harus berani mengungkapkan realitas yang terjadi agar ke depan pola perilaku seperti itu dapat kita ubah bersama-sama. Kelak semua mahasiswa akan kembali pada hakikatnya dan lepas dari belenggu krisis moralitasyang sedang banyak terjadi. Namun, dibalik semua itu percayalah masih ada mahasiswa yang memiliki pemikiran-pemikiran yang kritis, tekad perjuangan dan semangat yang tinggi untuk memajukan bangsa menjadi lebih baik. Walaupun sedikit, hal tersebut bagaikan setitik sinar yang dapat menyinari kegelapan dan perlahan menerangi sisi-sisi ruang gelap dengan sangat terang. Semoga kita termasuk ke dalam setitik sinar dalam kegelapan tersebut dan tergolong ke dalam mahasiswa yang sebenarnya.

Penulis, Imam Akhmad.

Sumpah Pemuda Sudah (kah) Tua

(Terbit: Galamedia Kamis 3 November 2011)

Delapan puluh tiga tahun yang lalu tentunya kita ingat bagaimana gejolak para pemuda untuk melahirkan negara Indonesia. Gejolak itu melahirkan sebuah sumpah yaitu sumpah pemuda. Sumpah pemuda bermula dari gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua yang berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.
Sejarah Singkat
Rapat pertama berlangsung pada hari Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng. Moehammad Jamid menguraikan sebuah rumusan mengenai hal yang dapat memperkuat persatuan Indonesia, yaitu; Sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan dan kemauan.
Rapat kedua berlangsung pada hari Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop. Poernowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro mengemukakan bahwa pendidikan kebangsaan dan demokratis harus diterapkan.
 Rapat Ketiga berlangsung di Gedung Indonesisch Huis Kramat. Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, dan hal itu yang dibutuhkan dalam perjuangan.
Sebelum kongres ditutup, diperdengarkan lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda.
Peran Pemuda dalam Pembangunan
Sumpah Pemuda lahir dari gejolak para pemuda Indonesia, dan kita pun sangat bangga melihat betapa bersemangatnya pemuda saat itu. Kebanggaan kita dengan lahirnya sumpah pemuda terbukti dengan adanya peringatan setiap tahunnya, tapi apalah artinya sumpah pemuda bila hanya dijadikan suatu peringatan dan ceremonial belaka. Pun arti sumpah pemuda perlahan akan luntur dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya hilang tak membekas.
 Pemuda adalah para penerus bangsa, cerminan masa depan sebuah negara dapat terlihat dari tingkah-laku para pemudanya sendiri. Bung karno pernah berkata “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kugoncangkan dunia”. Sebuah kalimat yang jelas mengisyaratkan bahwa pemuda sangat penting dalam pembangunan dan kemajuan suatu negara.
Pemuda seyogiyanya bisa menjadi panutan dalam pembangunan Indonesia. Kontras, pemuda yang dulu bergejolak memajukan Indonesia kini tidak sedikit yang malah berperilaku sebaliknya. Para pelajar rajin melakukan kerusuhan antar pelajar bahkan terakhir terjadi kerusuhan pelajar dengan wartawan. Pun mahasiswa tidak ingin kalah mereka lebih rajin melakukan demo terhadap pemerintahan bahkan tidak sedikit yang berakhir kerusuhan. Memang pemuda yang kritis menjadi salahsatu modal baik bagi kemajuan bangsa tapi semua itu pun harus disalurkan dengan benar pula, bukan dengan kerusuhan yang tidak akan menghasilkan apa-apa.
Ironis memang, itulah kata yang mungkin ada dibenak kita. Ketika para penerus bangsa ini yaitu para pemuda lebih mengutamakan emosional dari pada intelektual, ketika akal sehat berubah menjadi akal sesat. Letusan senjata, tumpahan darah bahkan hilangnya nyawa menghiasi hari-hari dalam kehidupan bermasyarakat. Tak ada lagi tawa, tak ada lagi canda yang sering terdengar dan tergumam. Teriakan-teriakan emosional dan tindakan-tindakan kriminal dianggap cara baik menyelesaikan masalah. Semua tindakan itu dilakukan pemuda yang seharusnya menjadi ujung tombak (avant garde) dalam pembangunan bukan malah menjadi momok bagi masyarakat luas.
Tua dan renta, mungkin inilah kata yang cocok dengan arti dari sumpah pemuda sehingga tidak membekas dalam pemuda di-era kekinian. Pemerintah seharusnya kita benahi bersama bukan kita rusak dan kacaukan. Masih ada ruang intelektual tanpa emosional yang luas, masih ada musyawarah mufakat yang melekat di setiap lembar negeri ini.
Hari Sumpah Pemuda 28 oktober 2011 lalu, seyogiyanya menjadi cermin bagi kita untuk melihat perjuangan pemuda Indonesia dulu. Marilah para pemuda rapatkan barisan, bulatkan tekad untuk memajukan negara ini. Perjuangan yang bersih tanpa adanya kekerasan yang tertuang.

Penulis, Imam Akhmad, Mahasiswa.