Kejadian
1: Pruhut adalah anggota Partai Sembelit. Dia melihat ada salah satu anggota
ormas yang anarkis. Pruhut pun berkoar-koar agar pemerintah membubarkan ormas
tersebut.
Kejadian
2: Salah satu anggota Partai Sembelit terlibat korupsi. Masyarakat meminta
partai tersebut bubar. Pruhut membela, “itu hanyalah oknum, katanya.”
Kejadian
3: Orang dekat Partai Sembelit melakukan ujaran kebencian bersifat SARA terhadap
satu golongan. Pruhut membela setengah mati padahal kesalahannya sudah jelas
dan dapat dibuktikan. Pruhut membela, “itu kan hanya penafsiran, katanya.”
(Kejadian
di atas adalah cerita yang dikarang penulis. Kemiripan nama dan cerita mungkin
memang inspirasinya dari sana.)
Dalam
kejadian 1, Pruhut melakukan kesalahan berpikir. Dia sesat pikir. Kesesatannya terjadi
karena menganalisa satu-dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat
general/umum. Padahal kejadian satu, tidak bisa menjadi kesimpulan umum. Pruhut
melakukan sesat pikir bernama Fallacy of
Dramatic Instane.
Dalam
kejadian 2, Pruhut tidak melakukan kesalahan berpikir. Dia berkata ketika ada
salah satu anggotanya korupsi, tidak lantas partainya harus dibubarkan. “Itu
hanya oknum, katanya.” Pada kejadian kedua ini Pruhut benar. Kasus satu atau
dua tidak bisa menjadi pembenaran untuk menghakimi semua.
Dalam
kejadian 3, Pruhut jelas melakukan kesalahan. Dia membela mati-matian orang
yang melakukan ujaran kebencian. Hal itu dilakukan karena orang tersebut adalah
orang dekatnya atau orang yang dicintainya.
Ketika
memerhatikan dengan saksama tiga kejadian di atas, Pruhut ternyata tak adil.
Dalam kejadian 1, Pruhut melakukan kesesatan berpikir. Dalam kejadian 2
berpikirnya benar. Dalam kejadian 3, Pruhur jelas salah.
Kejadian
seperti ini bisa saja kita alami. Ketika orang yang dibenci melakukan satu kesalahan,
kita akan membenci semua yang diperbuatnya, bahkan selamanya akan dibenci. Namun,
berbeda apabila yang melakukan kesalahan adalah anak kita atau orang yang kita
cintai. Tentu kesalahan tersebut akan senantiasa kita maafkan.
Sama
halnya ketika tahun politik sekarang ini. Pendukung Partai A akan menjunjung
tinggi partai beserta kadernya. Sama halnya, Pendukung Partai B akan menjunjung
tinggi partai beserta kadernya. Negatifnya, karena mendukung Partai A, mereka
merendahkan atau menjelekkan Partai B beserta kebijakannya. Begitu pula
sebaliknya, karena mendukung Partai B, mereka merendahkan dan menjelekkan
Partai A beserta kebijakannya.
Semua
kejadian yang tidak berimbang tadi, terjadi karena cinta buta. Cinta berlebihan di satu sisi akan menimbulkan benci membabi buta di sisi lain. Dengan cinta buta, segala keburukannya akan
terasa baik. Begitu pula dengan benci membabi buta, segala kebaikannya akan terasa
buruk. Tidak heran, kesalahan-kesalahan berpikir akan muncul. Salah satunya Fallacy of Dramatic Instane yang
dilakukan Pruhut tadi. Dengan begitu, jangan jadikan benci dan cinta kita sebagai
indikator menilai atau menyimpulkan sesuatu.
Rasul pernah berkata dalam Hadits Bukhari dan Muslim,
bahwa seandainya Fatimah mencuri niscaya
aku memotong tangannya. Orang awan mungkin akan mengatakan bahwa Rasul sangat
kejam berani memotong tangan anak yang dicintainya. Namun, dari hadits tersebut
Rasul sedang mengajarkan kita tentang keadilan. Tentang keadilan bersikap.
Jangan jadikan cinta sebagai hambatan dalam berpikir sehat (di hadits ini dalam
menegakkan hukum).
Setali
tiga uang, Rasul juga pernah berpesan dalam Hadits Tirmidzi, “Cintailah orang
yang kamu cintai sekadarnya. Bisa jadi orang yang sekarang kamu cintai suatu
hari nanti harus kamu benci. Dan bencilah orang yang kamu benci sekadarnya,
bisa jadi di satu hari nanti dia menjadi orang yang harus kamu cintai.”
Akhirnya penulis berpesan, jangan jadikan rasa cinta yang berlebihan
menghilangkan sikap kritis kita, padahal yang kita cintai salah. Jangan pula
rasa benci yang berlebihan menghilangkan sikap pujian kita, padahal yang kita
benci sedang melakukan kebenaran.
Imam Akhmad, M.Pd. Tergabung dalam Ikatan Alumni Duta Bahasa Jawa Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar