Yazid, seorang pemuda yang sudah 20 tahun
hidup di kota perantauan. Ketika usia 5 tahun, ia dibawa pamannya yang tak
memiliki anak untuk hidup di kota. Hidup berumah tangga tanpa anak memang
serasa tanpa warna dan irama, tak ada kisah dan tak ada tawa anak yang
terdengar. Itulah alasan pamannya, meminta Yazid kepada adiknya (ayah Yazid). Permintaan
yang berat. Senyampang, ayahnya memang sering sakit-sakitan, dengan begitu tak
banyak nafkah yang bisa ditunaikan. Ayah ingin Yazid bisa bersekolah tinggi.
Ayah pun mengikhlaskan Yazid untuk tinggal bersama pamannya. Setiap libur
lebaran, paman membawa Yazid ke kampung, Ayah dan ibunya tetap bisa bertemu
walau setahun sekali.
Hari ini Yazid pulang ke kampung. Pendidikan
magister telah ia selesaikan, tesisnya sudah disidangkan tinggal menunggu waktu
untuk wisuda. Sudah lama ia ingin pulang dan berlama-lama tinggal dengan ayah,
ibu, dan keluarganya. Kepulangannya kali ini lebih cepat dari yang dijadwalkan.
2 bulan lagi wisuda digelar, tetapi ia memilih pulang lebih cepat karena
mendengar sakit ayahnya yang kian parah. Ayahnya memang sudah lama stroke,
puncaknya minggu lalu terjatuh di kamar mandi.
Ajal memang seperti menunggu kedatangan Yazid.
Dalam tatapan sayu ayah ada binaran mata yang terpancar setelah melihat anaknya
itu. Tidak lama setelah Yazid melihat tatapan sayu ayahnya, ajal datang,
sakaratul maut ia saksikan. Yazid segera mendekati telinga ayahnya dan membacakan syahadat. Suara elektrokardiograf, alat pendeteksi detak
jantung, berbunyi datar, pertanda detak jantung sudah berhenti. Isak tangis ibu
dan keluarga mulai terdengar di ruang rumah sakit desa itu.
Pagi hari jenazah dikebumikan. Suasana
berkabung menyelimuti keluarga dan seisi kampung. Ayahnya merupakan salah satu
orang tua soleh yang dihormati, ia adalah marbot masjid yang dikenal ikhlas,
tanpa pamrih. Pada saat proses pengemubian, betapa kagetnya Yazid melihat Abdullah
–kakaknya- hendak menalqin dalam kubur
ayahnya. Seketika, pemuda itu menghampiri Abdullah, dengan nada tinggi meminta
untuk menghentikan talqin yang dilakukannya. Namun, Abdullah bersikukuh untuk
menyelesaikan talqin dalam kubur kepada ayahnya itu. Pemandangan tak mengenakan
tersebut disaksikan warga, tetapi semua yang menyaksikan hanya diam seolah tak
tahu apa yang harus dilakukan. Akhirnya, Abdullah menghentikan talqin yang
dilakukannya demi berakhirnya cek-cok yang tidak enak dipandang dan didengar warga.
Perdebatan antara Yazid seorang magister yang
sudah lama tinggal di kota dengan Abdullah kakaknya seorang santri yang
sekarang dipercaya mengajar kitab kuning di pesantren kampung itu tidak selesai
juga. Keduanya berdebat masalah tahlilan yang tadinya akan dilaksanakan selama
7 hari penuh oleh keluarga tersebut. Abdullah menjelaskan bahwa hal tersebut
sudah menjadi tradisi di kampung. Tradisi di sini, ketika ada yang meninggal,
para bapak berbondong-bondong mengangkut beras dan sembako, tidak lupa para ibu bersiap untuk membantu memasak.
Setelah itu, sebakda isya dilaksanakan tahlilan selama seminggu penuh. Beras
yang diberikan tetangga berkarung-karung sering kali tersisa, biasanya digunakan kembali untuk tahlilan di
hari ke-40 dan 100.
Ibu dan seluruh anggota keluarga menyaksikan
perdebatan yang terjadi di tengah rumah itu. Hati Yazid resah, tetapi ia
teringat sabda Rasul SAW “Akan datang padamu suatu zaman, orang yang berpegang
teguh pada agamanya sama seperti orang yang memegang bara api.” Air keringat
di dahinya menetes, ia berpikir kali ini ia sedang menegakkan sunnah. Ia
bersikukuh melarang pelaksanaan tahlilan yang dipandanganya sebagai bid’ah.
Lebih baik hatinya tetap bergejolak hari itu, daripada mendidih dalam api
neraka kelak. Namun, kali ini tahlilan tetap dilaksanakan, pemuda itu memilih
tak menghadiri acaranya dan memilih tiduran sambil memakaikan headset ke telinganya mendengarkan
kajian ustadznya lewat youtube di ruangan belakang. Selama tinggal di kota
rupanya Yazid rajin mengikuti kajian. Bahkan, Yazid merupakan ketua lembaga
dakwah di kampusnya.
Gejolak emosi hatinya ternyata bukan hanya
hari itu saja. 2 pekan tinggal di kampung, ia pernah mendatangi jamaah masjid
dan mendebat ustadz serta seluruh jamaah yang melaksanakan yasinan malam jumat.
Ia menjelaskan bahwa hal itu adalah hal baru yang tidak diajarkan Rasul, setiap
yang baru adalah sesat dan setiap yang sesat masuk neraka, “baca saja surat
al-kahfi yang jelas diperintahkan rasul”, ujarnya. Ia pun mengakhiri ujaran
debatnya itu dengan kalimat, “ayo kembali kepada Al-Quran dan Sunnah”. Ia
melakukan hal tersebut dengan tabah kepada Allah. Ia yakin akhirnya kebenaran
akan menang dan ia sedang berada di pihak yang benar. “Jika kamu menolong agama
Allah, Allah akan menolong kamu.” Ayat ketujuh surat Muhammad itu selalu ia
ingat.
Yazid, seorang magister kedua di kampungnya
setelah buya pemilik pesantren, kini menjadi buah bibir di kampung. Sebagian
besar jamaah marah kepadanya. Sebagian kecil membenarkan perkataan pemuda itu.
“Betul juga perkataan pemuda itu. Kita beribadah harus sesuai Al-Quran dan
Hadits, harus sesuai tuntunan, jangan mengada-ada dalam beribadah.” Begitu kata
salah satu jamaah mengulangi perkataan pemuda yang kini kontroversial tersebut.
“Begini mas, pak ustadz pasti punya dalil dalam beribadah, begitu pula
ulama-ulama yang kita ikuti peribadatannya sekarang, tetapi untuk memudahkan
kita semua, dalil-dalil yang banyak itu seringkali tidak disampaikan, kan kalau
setiap beribadah harus tahu dalil kapan beribadahnya.” timpal jamaah lainnya.
Permasalahan mengenai peribadatan mulai banyak
diobrolkan warga. Kali ini, di dalam pengajian rutin seringkali ada yang
bertanya mengenai dalil peribadatan yang dilaksanakan. Para ibu mulai
menanyakan dalil pelaksanaan yasinan, tahlilan, selametan 4 dan 7 bulan ibu
hamil. Para bapak pun getol bertanya kepada ustadz, misalnya dalil perayaan
maulid nabi dan isra miraj yang rutin dilaksanakan setiap tahunnya. Ustadz di kampung
mulai disibukkan dengan jawaban-jawaban seputar peribadatan. Kini, kitab-kitab
tebal yang selama ini dipajang di lemarinya mulai kembali banyak dikaji dan
dijelaskan kepada jamaah.
Banyak jamaah puas dengan segala jawaban ustadz
didasari penjelasan dan dalil yang lengkap. Ustadz bahkan membuat banyak
tulisan berisi penjelasan mengenai peribadatan yang selama ini mentradisi di
kampung. Namun, Yazid tetap tidak menerima penjelasan ustadz yang berperawakan
kecil dan tak berjenggot itu. Ia berdiri mematung dan teringat penjelasan
ustadznya, “jauhi para ahli bid’ah, jangan ikuti kyai yang tak berjenggot,
jangan ikuti ustadz, tetapi ikutilah Rasulullah.” Untuk meyakinkan diri kembali,
ia pun kembali lebih rajin mendengarkan penjelasan-penjelasan ustadznya di
youtube.
Dalam hiruk-pikuk pelaksanaan peribadatan
rutin di kampung, ia merasa terasing. Dalam tahlilan hari ke 40 ia memilih diam
di ruang belakang, yasinan malam jum’at ia memilih tidur sembari mendengarkan
kajian di telepon pintarnya, perayaan 4 bulanan kelahiran anak tetangga ia
memilih tak menghadirinya, ketika magrib ada anak-anak melantunkan nasyid di
masjid ia memilih memarahi anak-anak dan DKM masjid. Ia ingat pesan Rasul,
“islam datang dalam keadaan asing, akan kembali terasing, beruntunglah orang
yang terasing.” Ia pun tersenyum, biarlah terasing tetapi dalam keadaan yang
beruntung.” Ia keluar hanya ketika adzan berkumandang untuk segera melaksanakan
solat di masjid.
Abdullah, ibu, beserta keluarga merasa cemas.
Penjelasan keras kakaknya seorang jebolan pesantren pun tak bisa mengubah
pendiriannya. Pendirian Yazid Ibarat batu karang, penjelasan Abdullah kakaknya ibarat
ombak besar yang tak mampu meruntuhkannya. Akhirnya, melalui musyawarah
keluarga, Yazid disuruh untuk kembali ke kota untuk melanjutkan karirnya.
Dengan gejolak di dada yang tak bisa disembunyikan, Yazid bergegas membereskan
perlengkapannya.
Kehidupan kampung berjalan seperti semula. Tak
terasa, tahlilan ke 100 hari dilaksanakan, tetapi Yazid tak menghiraukan pesan
singkat kakaknya yang menyuruhnya datang. Padahal baru 2 bulan lalu Abdullah,
Kakaknya, datang menghadiri acara wisudanya. Ia mulai sibuk menjadi kepala
cabang restoran, baru saja 2 minggu ia dipercaya menjadi kepala cabang yang
baru dibuka. Jabatan itu sepadan dengan prestasi dan pendidikan yang ia enyam.
Kali ini, ia memiliki kewenangan menentukan peraturan. Di restoran yang ia
pimpin, solat sunat dhuha menjadi wajib dilakukan karyawan. Selain itu, di
sana, dilarang menyetel musik, bahkan karyawannya akan dimarahi kalau ketahuan
mendengarkan musik. Baginya musik itu haram, walau musik dengan lirik islami
sekalipun.
Kring...Kring...teleponnya
berbunyi. Rupanya kakaknya menelpon, sejenak Yazid menghentikan ketikan
perhitungan pendapatan dan pengeluaran restoran.
“waalaikumsalam,
ada apa kak?”
“kamu
ingat, bahwa ketika meninggal ayah menulis wasiat, kan?”
“oh
iya, memangnya bagaimana kak?”
“rupanya
salah satu wasiatnya tentang dirimu, ayah ingin kamu menikah dengan putri buya,
pemilik pesantren di kampung.”
Bak disambar petir di siang bolong. Mukanya
seketika memerah, dadanya berdebar kencang. Bagaimana tidak, ia harus menikah
dengan putri buya. Bukankah pesantren yang dipimpin buya itu adalah pesantren
yang getol melaksanakan bid’ah. Bukankah, kata ustadz ahli bid’ah harus dijauhi.
Mengapa ayah menyuruh saya untuk menikahi salah satu putri buya? Seketika pikirannya
dipenuhi pertanyaan tersebut. Dadanya terasa sempit. Ia menarik nafas dan melantunkan
do’a, “Robbis rohlli shodrii, wa
yassirlii amrii, wahlul’uqdatam mil lisaani yafqohu qoulii”. Telepon ditutup,
sembari diakhiri jawaban yang terasa berat. Untuk menghormati ayahnya, pemuda
itu meminta waktu untuk istikhoroh.
Keputusannya berat. Ia sangat menghormati
ayahnya. Ketika sekolah dulu, Paman sering menyampaikan bahwa ayahnya sering
mengirim uang. Beberapa kemeja mahal pun sering ia terima yang ternyata
dibelikan ayahnya. Walaupun jauh ternyata ayahnya sangat perhatian. Ia ingin
mengikuti wasiat permintaan terakhir ayahnya. Ia mesti menikahi putri seorang
buya, pemilik pesantren di kampung. Wasiatnya sungguh berat. Hatinya kembali
mendidih, ketika ingat buya adalah orang yang getol melakukan perbuatan yang tak
dicontohkan rasul.
Tepat saat tahlilan ke 1000 hari ayahnya,
Yazid pulang kampung. Malam itu, ia turun dari mobil barunya memakai kemeja
berdasi dilengkapi celana bermodel slim
fit yang dipotong tidak melewati mata kaki. Kedatangannya bukan hendak
mengikuti tahlilan, tetapi menemui
keluarganya menyampaikan hasil istikhoroh. Selama 2 tahun kemarin, ia
berkeliling ke para ustadz bertanya mengenai permasalahannya itu. Selain itu,
ia mempersiapkan mental dan ilmu untuk menikah. Selesai acara tahlilan, Yazid
memeluk erat ibu dan kakaknya, serta menyapa seluruh keluarganya. Obrolan
dimulai.
“Bu,
Kak, InsyaAllah keputusan dari istikhoroh saya sudah ada.”
“Alhamdulillah,
bagaimana keputusanmu nak?” jawab ibu.
“InsyaAllah
saya siap menikah dengan Aisyah, putri Buya bu.”
“Alhamdulillah”
ucap kompak seluruh keluarga.
“Alhamdulillah,
kau sudah bisa menerima perbedaan, dek!” Ujar kakaknya.
“Tidak
kak, saya tetap tegas di jalan sunnah dan menjauhi ahli bid’ah.”
“Lantas?”
“Ya,
ustadz memang menyuruh saya menjauhinya, tetapi biarlah ini menjadi bid’ah
cintaku, hal baru yang tak dilakukan ulama salaf yaitu menikahi ahli bid’ah.”
2 hari berselang, Yazid, Abdullah, Ibu,
beserta keluarganya bertamu ke kediaman Buya. Pesantren yang cukup mewah nampak
terawat bersih. Di pelataran terlihat santri sedang latihan nasyid. Di ruang
kelas terdengar sayup, santri sedang melantunkan marhaban al-barjanzi. Yazid
melangkahkan kaki dengan ragu, dadanya berdebar, tetapi debarannya itu tak bisa
menghalangi bulat tekadnya. Ia ingin mengikuti wasiat ayahnya. Setali tiga
uang, pernikahannya bisa dijadikan ladang dakwah kelak.
Buya menyambut keluarga itu dengan sambutan
yang luar biasa. Banyak makanan dan minuman berjejer di meja kayu jati yang
nampak elegan itu. Buya menyilakan tamu dengan ramah untuk mencicipi makanan.
“Silakan
dicicipi makanan ala kadarnya.” Lirih Buya.
“MasyaAllah,
makanannya segala ada, terima kasih sambutannya Buya.” jawab Abdullah mewakili
keluarga.
Abdullah nampak akrab. Ya, Abdullah memang
salah satu santri yang setelah lulus menjadi pengajar di pesantren. Buya memintanya
mengajar di pesantren. Abdullah pun mengiyakan, karena selain tazim kepada Buya,
ia pun tidak ingin jauh dari ibunya. Hampir setiap hari dari pagi hingga sore, Abdullah
mengajar di pesantren, ia mengajar Kitab Al-jurumiyah, Amtsilah At-tashrifiyah,
Mustholah Al-hadits, Arba’in Nawawi, At-taqrib, Aqidatul Awam, dan Tal’limul Muta’alim.
Kitab-kitab tersebut adalah kitab dasar yang dipelajari di pesantren. Namun,
kesibukannya itu tak membuat dirinya lupa kepada istri dan ibunya. Setiap siang
ia selalu pulang untuk makan. Tak lupa seringkali ia membawa tentengan
lauk-pauk tambahan atau susu kedelai. Dengan begitu aktivitas mengajarnya tak
mengurangi perhatiannya kepada istri, ibu, dan keluarganya.
Kali itu Abdullah membuka obrolan yang mulai
serius. Abdullah menyampaikan kedatangan sekeluarga untuk silaturahim dan
bermaksud mengenalkan adiknya, Yazid, kepada Buya. Perkenalan itu dimaksudkan
untuk keinginan meminang Aisyah, putri bungsu buya lulusan Al-Azhar Kairo,
Mesir. Buya mendengarkan perkataan Abdullah dengan saksama, kemudian
memperhatikan Yazid dari atas hingga bawah. Kening yang hitam nampak jelas di
antara peci dan kulit wajah Yazid yang putih. Jubah gamis menjulur disambung
dengan celana di atas mata kaki. Buya pun memperhatikan Yazid sambil tersenyum.
“Nampaknya
kau anak yang baik, nak.”
“InsyaAllah
buya, semoga perkataan Anda menjadi doa.”
Percakapan berlangsung akrab. Dalam beberapa
percakapan Yazid mengenalkan latar belakang diri, pekerjaan, hingga
pandangannya terhadap islam saat ini. Buya mendengarkan dengan saksama dan
memberi sedikit jawaban yang tenang dan bijak. Dengan memberanikan diri, Yazid
menjelaskan apabila pinangannya diterima, semoga bisa jadi jalan dakwah. Buya
tersenyum dan mengatakan lebih baik saling tahu dulu mengenai latar belakang
masing-masing agar tidak terkesan terburu-buru. Yazid sekeluarga mengiyakan apa
yang disampaikan buya.
Beberapa hari berselang, Abdullah meminta
Yazid untuk menulis CV yang berisi biodata, visi dan misi, serta rencana ke
depan setelah pernikahannya. CV tersebut nantinya akan ditukar dengan CV milik
Aisyah. Hal tersebut agar meminimkan pertemuan yang dapat menjadi fitnah.
Akhirnya Yazid dan Aisyah pun saling menerima CV.
Di sudut kamar masing-masing, Yazid dan Aisyah
membaca CV secara saksama. Yazid cukup kagum dengan kemampuan Aisyah dalam
akademik pesantrennya hingga ia bisa mendapatkan beasiswa ke Mesir. Namun, di
sisi lain Aisyah kaget membaca beberapa pandangan Yazid terhadap Islam di
Nusantara. Katanya, banyak ajaran islam yang sudah dicampuri dengan takhayul,
bid’ah, dan churafat (TBC). Dengan
kerut kening dan hati berdebar, Aisyah menceritakan hal tersebut kepada Buya.
Terjadilah percakapan serius antara Aisyah dengan buya, ayahnya.
Percakapan selesai. Buya kembali mengundang Abdullah
sekeluarga. Beberapa hari berselang, terjadi kembali pertemuan. Buya dan istri
dengan gaya rendah hati menyilakan tamu untuk mencicipi makanan. Kali ini
tersedia berbagai kue tradisional, seperti galendo
kue berbahan dasar tepung berbentuk lonjong yang dilapisi gula aren, jalabria kue manis berwarna hitam
berbentuk seperti donat, bugis kue
manis berwarna hijau yang dibungkus dengan daun kelapa di dalamnya terdapat
gula yang dicampur kelapa, dan kue tradisional lainnya. Kue-kue tradisional
tersebut ternyata dibuat oleh Aisyah. Sewaktu di pesantren dahulu, Aisyah
dikenal terampil membuat makanan tradisional. Yazid sekeluarga menikmati
kue-kue tersebut karena walaupun di kampung, kue-kue tradisional tersebut sudah
susah ditemui kalah peminat dengan camilan buatan pabrik.
Abdullah membuka kembali obrolan dan
menanyakan keputusan Buya tentang pinangan adiknya kepada Aisyah. Dengan
tenang, buya mengiyakan dan mengizinkan Yazid meminang anaknya. Yazid dan
keluarga terlihat senang. Namun, buya memberikan syarat apabila ingin meminang
anaknya, sambil menunggu pernikahan silakan belajar langsung di pesantren
bersama Buya. Yazid dan keluarga setuju. Di tengah percakapan, Buya memanggil
Aisyah dan menyuruhnya untuk mengambil bungkus sisa kue dan piring kotor.
Terlintas wajah Aisyah tersipu malu. Hati Yazid berdesir kencang melihat
sepintas wajah Aisyah.
Dua minggu berselang, acara pertunangan
dilaksanakan. Dua keluarga tersebut tampak sumringah. Namun, rona keragu-raguan
terpancar dalam wajah Yazid. Beberapa karyawannya merasa aneh dengan ekspresi
dari tuannya itu. Untuk menutupi keragu-raguannya itu, Yazid menyerengeh
tersenyum kepada keluarga dan beberapa tetangga yang menyaksikan. Acara khitbah
digelar dengan meriah.
Acara pernikahan akan digelar 3 bulan lagi.
Dalam 3 bulan itu, Yazid bolak-balik ke kota dan kampungnya. Satu hari untuk
mengontrol restoran yang dipimpinnya, selebihnya ke kampung untuk belajar
langsung bersama Buya. Dari pagi hingga petang Yazid seolah nyantri. Di pesantren,
Yazid mulai belajar pokok agama (ushul) dan cabang agama (furu), berbagai
pertanyaan ditanyakan kepada Buya, tetapi kali ini Buya mengajarkan adab kepada
Yazid bahwa sebelum guru menyelesaikan penjelasannya jangan memotong untuk
bertanya. Yazid mengangguk tanda mengerti. Selain itu, Yazid diajarkan berbagai
fikih dalam pandangan mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali. Yazid mulai
mengerti bahwa perbedaan yang selama ini diperdebatkan masing-masing memiliki
dalil dan itu terjadi pada wilayah cabang agama, bukan pokok.
Yazid mulai senang belajar di pesantren.
Sedikit demi sedikit ia bisa menerima perbedaan dan tidak cepat mencap orang
lain sesat. Buya mulai menjelaskan mengenai tahlilan, selametan ibu hamil (4
dan 7 bulan), perayaan maulid, isra miraj, hingga hal kecil seperti bersalaman
selesai solat. Pikirannya mengenai hal-hal bid’ah yang ia pahami dulu kini
sudah berkembang.
Yazid mulai berbeda memahami cara dakwah. Ada
wilayah keyakinan, ada wilayah dakwah. Yazid tetap bercelana di atas mata kaki,
karena di bawah mata kaki –isbal- masuk neraka, itu keyakinannya. Namun, ia
tetap menghormati keyakinan orang yang berbeda dengannya dan tidak berani
mencap sesat. Biarlah ini jadi wilayah keyakinannya karena ia pun percaya ulama
yang lain tentu punya dalil. Ia percaya bahwa ulama yang mengikuti mazhab
Syafii tentu bukan orang sembarangan dalam beribadah. Kini, dakwahnya menyeru
orang ke masjid, mengenalkan kembali sejarah islam kepada pemuda, dan bisa
menerima perbedaan. Tak ada lagi kata sesat dan bid’ah yang terujar. Yazid
bahkan menyeru, “berlapang dadalah terhadap khilafiyah furuiyah atau perbedaan
yang bersifat cabang, bukan pokok agama.”
Buya memberikan 4 jilid buku berjudul 40
Masalah Agama karangan KH. Siradjuddin Abbas dan buku berjudul 37 Masalah
Populer karangan ustadz kondang H. Abdul Somad, L.C., M.A. Buku tersebut
berhasil Yazid baca tuntas dalam waktu 1 bulan. Kini pandangannya benar-benar
berubah. Solatnya masih seperti dahulu tepat waktu berjamaah di masjid, tetapi
langkahnya berbeda. Apabila dahulu langkahnya ragu diiringi muka masam jarang
terlihat tersenyum, kini langkahnya pasti diiringi senyum manis yang terlihat
begitu tulus. Hal itu disaksikan oleh jamaah lainnya. Beberapa permasalah agama
ia jelaskan dengan diksi yang tepat penuh kehati-hatian agar tak ada yang
tersakiti. Tak ada lagi nada keras dan raut marah dalam menjelaskan hal-hal
yang berkaitan dengan agama.
Hari pernikahan digelar sederhana dengan jamuan
yang luar biasa. Makanan utama berjejer di tengah. Sementara itu, makanan
lainnya menghiasi pelataran gedung. Tampak santri yang biasa mengaji kini
berubah berpenampilan koki, bersiap melayani para tamu. Dengan berbagai
pertimbangan, akad digelar di tengah gedung bukan di masjid. Terdengar saksi mengatakan,
“sah...sah”, pertanda Yazid dan Aisyah sudah resmi menikah. Dua keluarga
beserta para tamu yang menyaksikan terlihat haru. Mata Yazid dan Aisyah
berkaca-kaca.
Yazid berbahagia tinggal di lingkungan
pesantren Buya. Namun, cuti yang diberikan perusahaan hanya 2 minggu. Waktu
tersebut digunakan Yazid dan Aisyah untuk berbulan madu sebab buya menyarankan
mereka agar pergi jalan-jalan dan berbulan madu di tempat lain. Yazid dan
Aisyah pun pergi berbulan madu ke daerah atas 20 kilometer dari kampungnya,
menyewa villa selama seminggu. Benih-benih perasaan cinta antara Yazid dan
Aisyah mulai berkembang pesat. Setiap hari mereka berdua mengaji dan
mendiskusikan masalah agama. Namun, ternyata Yazid tak melulu serius, terkadang
Yazid bercanda dan melucu. Ternyata Yazid tak seserius yang Aisyah bayangkan.
Rasa cinta Aisyah kian membuncah, ucapan syukur seringkali tergumam.
Hari itu, Yazid dan Aisyah hendak pamit kepada
keluarga. Aisyah akan dibawa Yazid tinggal di kota tempatnya bekerja. Di
pesantren tampak Buya dan ibu Aisyah, Abdullah, ibu Yazid, beserta keluarga
besar berkumpul. Yazid dan Aisyah memeluk satu persatu keluarganya. Mereka
memasuki mobil dan berangkat. Ucapan salam dan lambaian tangan terlihat. Baru 3
meter melaju, Yazid berhenti, turun dari mobil, dan kembali menghampiri Ibu. Yazid
memeluknya. Di sela-sela pelukannya, Yazid melirih.
“Ibu,
kakak, Buya, dahulu ketika hendak melamar Aisyah, aku berkata bahwa ini adalah
bid’ah cinta yang kulakukan. Namun, bid’ah ini ternyata jalan sunnah hidupku yang
baik dan membuka pandanganku. Maafkan kesalahanpahamanku.”
Penulis, Imam Akhmad, M.Pd. Duta Bahasa Jawa Barat 2016.
Seorang Dhaif yang mendedikasikan waktu luangnya untuk membaca dan menulis.
Seorang Dhaif yang mendedikasikan waktu luangnya untuk membaca dan menulis.
Baguuusss...ada typo sedikit...bara api, bkn barang api.
BalasHapus