Senin, 23 April 2018

Bid'ah Cinta


Yazid, seorang pemuda yang sudah 20 tahun hidup di kota perantauan. Ketika usia 5 tahun, ia dibawa pamannya yang tak memiliki anak untuk hidup di kota. Hidup berumah tangga tanpa anak memang serasa tanpa warna dan irama, tak ada kisah dan tak ada tawa anak yang terdengar. Itulah alasan pamannya, meminta Yazid kepada adiknya (ayah Yazid). Permintaan yang berat. Senyampang, ayahnya memang sering sakit-sakitan, dengan begitu tak banyak nafkah yang bisa ditunaikan. Ayah ingin Yazid bisa bersekolah tinggi. Ayah pun mengikhlaskan Yazid untuk tinggal bersama pamannya. Setiap libur lebaran, paman membawa Yazid ke kampung, Ayah dan ibunya tetap bisa bertemu walau setahun sekali.
***


Hari ini Yazid pulang ke kampung. Pendidikan magister telah ia selesaikan, tesisnya sudah disidangkan tinggal menunggu waktu untuk wisuda. Sudah lama ia ingin pulang dan berlama-lama tinggal dengan ayah, ibu, dan keluarganya. Kepulangannya kali ini lebih cepat dari yang dijadwalkan. 2 bulan lagi wisuda digelar, tetapi ia memilih pulang lebih cepat karena mendengar sakit ayahnya yang kian parah. Ayahnya memang sudah lama stroke, puncaknya minggu lalu terjatuh di kamar mandi.

Ajal memang seperti menunggu kedatangan Yazid. Dalam tatapan sayu ayah ada binaran mata yang terpancar setelah melihat anaknya itu. Tidak lama setelah Yazid melihat tatapan sayu ayahnya, ajal datang, sakaratul maut ia saksikan. Yazid segera mendekati telinga ayahnya dan membacakan syahadat. Suara elektrokardiograf, alat pendeteksi detak jantung, berbunyi datar, pertanda detak jantung sudah berhenti. Isak tangis ibu dan keluarga mulai terdengar di ruang rumah sakit desa itu.

Pagi hari jenazah dikebumikan. Suasana berkabung menyelimuti keluarga dan seisi kampung. Ayahnya merupakan salah satu orang tua soleh yang dihormati, ia adalah marbot masjid yang dikenal ikhlas, tanpa pamrih. Pada saat proses pengemubian, betapa kagetnya Yazid melihat Abdullah –kakaknya-  hendak menalqin dalam kubur ayahnya. Seketika, pemuda itu menghampiri Abdullah, dengan nada tinggi meminta untuk menghentikan talqin yang dilakukannya. Namun, Abdullah bersikukuh untuk menyelesaikan talqin dalam kubur kepada ayahnya itu. Pemandangan tak mengenakan tersebut disaksikan warga, tetapi semua yang menyaksikan hanya diam seolah tak tahu apa yang harus dilakukan. Akhirnya, Abdullah menghentikan talqin yang dilakukannya demi berakhirnya cek-cok yang tidak enak dipandang dan didengar warga.

Perdebatan antara Yazid seorang magister yang sudah lama tinggal di kota dengan Abdullah kakaknya seorang santri yang sekarang dipercaya mengajar kitab kuning di pesantren kampung itu tidak selesai juga. Keduanya berdebat masalah tahlilan yang tadinya akan dilaksanakan selama 7 hari penuh oleh keluarga tersebut. Abdullah menjelaskan bahwa hal tersebut sudah menjadi tradisi di kampung. Tradisi di sini, ketika ada yang meninggal, para bapak berbondong-bondong mengangkut beras dan sembako, tidak lupa  para ibu bersiap untuk membantu memasak. Setelah itu, sebakda isya dilaksanakan tahlilan selama seminggu penuh. Beras yang diberikan tetangga berkarung-karung sering kali tersisa,  biasanya digunakan kembali untuk tahlilan di hari ke-40 dan 100.

Ibu dan seluruh anggota keluarga menyaksikan perdebatan yang terjadi di tengah rumah itu. Hati Yazid resah, tetapi ia teringat sabda Rasul SAW “Akan datang padamu suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya sama seperti orang yang memegang bara api.” Air keringat di dahinya menetes, ia berpikir kali ini ia sedang menegakkan sunnah. Ia bersikukuh melarang pelaksanaan tahlilan yang dipandanganya sebagai bid’ah. Lebih baik hatinya tetap bergejolak hari itu, daripada mendidih dalam api neraka kelak. Namun, kali ini tahlilan tetap dilaksanakan, pemuda itu memilih tak menghadiri acaranya dan memilih tiduran sambil memakaikan headset ke telinganya mendengarkan kajian ustadznya lewat youtube di ruangan belakang. Selama tinggal di kota rupanya Yazid rajin mengikuti kajian. Bahkan, Yazid merupakan ketua lembaga dakwah di kampusnya.

Gejolak emosi hatinya ternyata bukan hanya hari itu saja. 2 pekan tinggal di kampung, ia pernah mendatangi jamaah masjid dan mendebat ustadz serta seluruh jamaah yang melaksanakan yasinan malam jumat. Ia menjelaskan bahwa hal itu adalah hal baru yang tidak diajarkan Rasul, setiap yang baru adalah sesat dan setiap yang sesat masuk neraka, “baca saja surat al-kahfi yang jelas diperintahkan rasul”, ujarnya. Ia pun mengakhiri ujaran debatnya itu dengan kalimat, “ayo kembali kepada Al-Quran dan Sunnah”. Ia melakukan hal tersebut dengan tabah kepada Allah. Ia yakin akhirnya kebenaran akan menang dan ia sedang berada di pihak yang benar. “Jika kamu menolong agama Allah, Allah akan menolong kamu.” Ayat ketujuh surat Muhammad itu selalu ia ingat.

Yazid, seorang magister kedua di kampungnya setelah buya pemilik pesantren, kini menjadi buah bibir di kampung. Sebagian besar jamaah marah kepadanya. Sebagian kecil membenarkan perkataan pemuda itu. “Betul juga perkataan pemuda itu. Kita beribadah harus sesuai Al-Quran dan Hadits, harus sesuai tuntunan, jangan mengada-ada dalam beribadah.” Begitu kata salah satu jamaah mengulangi perkataan pemuda yang kini kontroversial tersebut. “Begini mas, pak ustadz pasti punya dalil dalam beribadah, begitu pula ulama-ulama yang kita ikuti peribadatannya sekarang, tetapi untuk memudahkan kita semua, dalil-dalil yang banyak itu seringkali tidak disampaikan, kan kalau setiap beribadah harus tahu dalil kapan beribadahnya.” timpal jamaah lainnya.

Permasalahan mengenai peribadatan mulai banyak diobrolkan warga. Kali ini, di dalam pengajian rutin seringkali ada yang bertanya mengenai dalil peribadatan yang dilaksanakan. Para ibu mulai menanyakan dalil pelaksanaan yasinan, tahlilan, selametan 4 dan 7 bulan ibu hamil. Para bapak pun getol bertanya kepada ustadz, misalnya dalil perayaan maulid nabi dan isra miraj yang rutin dilaksanakan setiap tahunnya. Ustadz di kampung mulai disibukkan dengan jawaban-jawaban seputar peribadatan. Kini, kitab-kitab tebal yang selama ini dipajang di lemarinya mulai kembali banyak dikaji dan dijelaskan kepada jamaah.

Banyak jamaah puas dengan segala jawaban ustadz didasari penjelasan dan dalil yang lengkap. Ustadz bahkan membuat banyak tulisan berisi penjelasan mengenai peribadatan yang selama ini mentradisi di kampung. Namun, Yazid tetap tidak menerima penjelasan ustadz yang berperawakan kecil dan tak berjenggot itu. Ia berdiri mematung dan teringat penjelasan ustadznya, “jauhi para ahli bid’ah, jangan ikuti kyai yang tak berjenggot, jangan ikuti ustadz, tetapi ikutilah Rasulullah.” Untuk meyakinkan diri kembali, ia pun kembali lebih rajin mendengarkan penjelasan-penjelasan ustadznya di youtube.

Dalam hiruk-pikuk pelaksanaan peribadatan rutin di kampung, ia merasa terasing. Dalam tahlilan hari ke 40 ia memilih diam di ruang belakang, yasinan malam jum’at ia memilih tidur sembari mendengarkan kajian di telepon pintarnya, perayaan 4 bulanan kelahiran anak tetangga ia memilih tak menghadirinya, ketika magrib ada anak-anak melantunkan nasyid di masjid ia memilih memarahi anak-anak dan DKM masjid. Ia ingat pesan Rasul, “islam datang dalam keadaan asing, akan kembali terasing, beruntunglah orang yang terasing.” Ia pun tersenyum, biarlah terasing tetapi dalam keadaan yang beruntung.” Ia keluar hanya ketika adzan berkumandang untuk segera melaksanakan solat di masjid.

Abdullah, ibu, beserta keluarga merasa cemas. Penjelasan keras kakaknya seorang jebolan pesantren pun tak bisa mengubah pendiriannya. Pendirian Yazid Ibarat batu karang, penjelasan Abdullah kakaknya ibarat ombak besar yang tak mampu meruntuhkannya. Akhirnya, melalui musyawarah keluarga, Yazid disuruh untuk kembali ke kota untuk melanjutkan karirnya. Dengan gejolak di dada yang tak bisa disembunyikan, Yazid bergegas membereskan perlengkapannya.

Kehidupan kampung berjalan seperti semula. Tak terasa, tahlilan ke 100 hari dilaksanakan, tetapi Yazid tak menghiraukan pesan singkat kakaknya yang menyuruhnya datang. Padahal baru 2 bulan lalu Abdullah, Kakaknya, datang menghadiri acara wisudanya. Ia mulai sibuk menjadi kepala cabang restoran, baru saja 2 minggu ia dipercaya menjadi kepala cabang yang baru dibuka. Jabatan itu sepadan dengan prestasi dan pendidikan yang ia enyam. Kali ini, ia memiliki kewenangan menentukan peraturan. Di restoran yang ia pimpin, solat sunat dhuha menjadi wajib dilakukan karyawan. Selain itu, di sana, dilarang menyetel musik, bahkan karyawannya akan dimarahi kalau ketahuan mendengarkan musik. Baginya musik itu haram, walau musik dengan lirik islami sekalipun.

Kring...Kring...teleponnya berbunyi. Rupanya kakaknya menelpon, sejenak Yazid menghentikan ketikan perhitungan pendapatan dan pengeluaran restoran.
“waalaikumsalam, ada apa kak?”
“kamu ingat, bahwa ketika meninggal ayah menulis wasiat, kan?”
“oh iya, memangnya bagaimana kak?”
“rupanya salah satu wasiatnya tentang dirimu, ayah ingin kamu menikah dengan putri buya, pemilik pesantren di kampung.”

Bak disambar petir di siang bolong. Mukanya seketika memerah, dadanya berdebar kencang. Bagaimana tidak, ia harus menikah dengan putri buya. Bukankah pesantren yang dipimpin buya itu adalah pesantren yang getol melaksanakan bid’ah. Bukankah, kata ustadz ahli bid’ah harus dijauhi. Mengapa ayah menyuruh saya untuk menikahi salah satu putri buya? Seketika pikirannya dipenuhi pertanyaan tersebut. Dadanya terasa sempit. Ia menarik nafas dan melantunkan do’a, “Robbis rohlli shodrii, wa yassirlii amrii, wahlul’uqdatam mil lisaani yafqohu qoulii”. Telepon ditutup, sembari diakhiri jawaban yang terasa berat. Untuk menghormati ayahnya, pemuda itu meminta waktu untuk istikhoroh.

Keputusannya berat. Ia sangat menghormati ayahnya. Ketika sekolah dulu, Paman sering menyampaikan bahwa ayahnya sering mengirim uang. Beberapa kemeja mahal pun sering ia terima yang ternyata dibelikan ayahnya. Walaupun jauh ternyata ayahnya sangat perhatian. Ia ingin mengikuti wasiat permintaan terakhir ayahnya. Ia mesti menikahi putri seorang buya, pemilik pesantren di kampung. Wasiatnya sungguh berat. Hatinya kembali mendidih, ketika ingat buya adalah orang yang getol melakukan perbuatan yang tak dicontohkan rasul.

Tepat saat tahlilan ke 1000 hari ayahnya, Yazid pulang kampung. Malam itu, ia turun dari mobil barunya memakai kemeja berdasi dilengkapi celana bermodel slim fit yang dipotong tidak melewati mata kaki. Kedatangannya bukan hendak mengikuti tahlilan, tetapi  menemui keluarganya menyampaikan hasil istikhoroh. Selama 2 tahun kemarin, ia berkeliling ke para ustadz bertanya mengenai permasalahannya itu. Selain itu, ia mempersiapkan mental dan ilmu untuk menikah. Selesai acara tahlilan, Yazid memeluk erat ibu dan kakaknya, serta menyapa seluruh keluarganya. Obrolan dimulai.

“Bu, Kak, InsyaAllah keputusan dari istikhoroh saya sudah ada.”
“Alhamdulillah, bagaimana keputusanmu nak?” jawab ibu.
“InsyaAllah saya siap menikah dengan Aisyah, putri Buya bu.”
“Alhamdulillah” ucap kompak seluruh keluarga.
“Alhamdulillah, kau sudah bisa menerima perbedaan, dek!” Ujar kakaknya.
“Tidak kak, saya tetap tegas di jalan sunnah dan menjauhi ahli bid’ah.”
“Lantas?”
“Ya, ustadz memang menyuruh saya menjauhinya, tetapi biarlah ini menjadi bid’ah cintaku, hal baru yang tak dilakukan ulama salaf yaitu menikahi ahli bid’ah.”

2 hari berselang, Yazid, Abdullah, Ibu, beserta keluarganya bertamu ke kediaman Buya. Pesantren yang cukup mewah nampak terawat bersih. Di pelataran terlihat santri sedang latihan nasyid. Di ruang kelas terdengar sayup, santri sedang melantunkan marhaban al-barjanzi. Yazid melangkahkan kaki dengan ragu, dadanya berdebar, tetapi debarannya itu tak bisa menghalangi bulat tekadnya. Ia ingin mengikuti wasiat ayahnya. Setali tiga uang, pernikahannya bisa dijadikan ladang dakwah kelak.

Buya menyambut keluarga itu dengan sambutan yang luar biasa. Banyak makanan dan minuman berjejer di meja kayu jati yang nampak elegan itu. Buya menyilakan tamu dengan ramah untuk mencicipi makanan.
“Silakan dicicipi makanan ala kadarnya.” Lirih Buya.
“MasyaAllah, makanannya segala ada, terima kasih sambutannya Buya.” jawab Abdullah mewakili keluarga.

Abdullah nampak akrab. Ya, Abdullah memang salah satu santri yang setelah lulus menjadi pengajar di pesantren. Buya memintanya mengajar di pesantren. Abdullah pun mengiyakan, karena selain tazim kepada Buya, ia pun tidak ingin jauh dari ibunya. Hampir setiap hari dari pagi hingga sore, Abdullah mengajar di pesantren, ia mengajar Kitab Al-jurumiyah, Amtsilah At-tashrifiyah, Mustholah Al-hadits, Arba’in Nawawi, At-taqrib, Aqidatul Awam, dan Tal’limul Muta’alim. Kitab-kitab tersebut adalah kitab dasar yang dipelajari di pesantren. Namun, kesibukannya itu tak membuat dirinya lupa kepada istri dan ibunya. Setiap siang ia selalu pulang untuk makan. Tak lupa seringkali ia membawa tentengan lauk-pauk tambahan atau susu kedelai. Dengan begitu aktivitas mengajarnya tak mengurangi perhatiannya kepada istri, ibu, dan keluarganya.

Kali itu Abdullah membuka obrolan yang mulai serius. Abdullah menyampaikan kedatangan sekeluarga untuk silaturahim dan bermaksud mengenalkan adiknya, Yazid, kepada Buya. Perkenalan itu dimaksudkan untuk keinginan meminang Aisyah, putri bungsu buya lulusan Al-Azhar Kairo, Mesir. Buya mendengarkan perkataan Abdullah dengan saksama, kemudian memperhatikan Yazid dari atas hingga bawah. Kening yang hitam nampak jelas di antara peci dan kulit wajah Yazid yang putih. Jubah gamis menjulur disambung dengan celana di atas mata kaki. Buya pun memperhatikan Yazid sambil tersenyum.
“Nampaknya kau anak yang baik, nak.”
“InsyaAllah buya, semoga perkataan Anda menjadi doa.”

Percakapan berlangsung akrab. Dalam beberapa percakapan Yazid mengenalkan latar belakang diri, pekerjaan, hingga pandangannya terhadap islam saat ini. Buya mendengarkan dengan saksama dan memberi sedikit jawaban yang tenang dan bijak. Dengan memberanikan diri, Yazid menjelaskan apabila pinangannya diterima, semoga bisa jadi jalan dakwah. Buya tersenyum dan mengatakan lebih baik saling tahu dulu mengenai latar belakang masing-masing agar tidak terkesan terburu-buru. Yazid sekeluarga mengiyakan apa yang disampaikan buya.

Beberapa hari berselang, Abdullah meminta Yazid untuk menulis CV yang berisi biodata, visi dan misi, serta rencana ke depan setelah pernikahannya. CV tersebut nantinya akan ditukar dengan CV milik Aisyah. Hal tersebut agar meminimkan pertemuan yang dapat menjadi fitnah. Akhirnya Yazid dan Aisyah pun saling menerima CV.

Di sudut kamar masing-masing, Yazid dan Aisyah membaca CV secara saksama. Yazid cukup kagum dengan kemampuan Aisyah dalam akademik pesantrennya hingga ia bisa mendapatkan beasiswa ke Mesir. Namun, di sisi lain Aisyah kaget membaca beberapa pandangan Yazid terhadap Islam di Nusantara. Katanya, banyak ajaran islam yang sudah dicampuri dengan takhayul, bid’ah, dan churafat (TBC). Dengan kerut kening dan hati berdebar, Aisyah menceritakan hal tersebut kepada Buya. Terjadilah percakapan serius antara Aisyah dengan buya, ayahnya.

Percakapan selesai. Buya kembali mengundang Abdullah sekeluarga. Beberapa hari berselang, terjadi kembali pertemuan. Buya dan istri dengan gaya rendah hati menyilakan tamu untuk mencicipi makanan. Kali ini tersedia berbagai kue tradisional, seperti galendo kue berbahan dasar tepung berbentuk lonjong yang dilapisi gula aren, jalabria kue manis berwarna hitam berbentuk seperti donat, bugis kue manis berwarna hijau yang dibungkus dengan daun kelapa di dalamnya terdapat gula yang dicampur kelapa, dan kue tradisional lainnya. Kue-kue tradisional tersebut ternyata dibuat oleh Aisyah. Sewaktu di pesantren dahulu, Aisyah dikenal terampil membuat makanan tradisional. Yazid sekeluarga menikmati kue-kue tersebut karena walaupun di kampung, kue-kue tradisional tersebut sudah susah ditemui kalah peminat dengan camilan buatan pabrik.

Abdullah membuka kembali obrolan dan menanyakan keputusan Buya tentang pinangan adiknya kepada Aisyah. Dengan tenang, buya mengiyakan dan mengizinkan Yazid meminang anaknya. Yazid dan keluarga terlihat senang. Namun, buya memberikan syarat apabila ingin meminang anaknya, sambil menunggu pernikahan silakan belajar langsung di pesantren bersama Buya. Yazid dan keluarga setuju. Di tengah percakapan, Buya memanggil Aisyah dan menyuruhnya untuk mengambil bungkus sisa kue dan piring kotor. Terlintas wajah Aisyah tersipu malu. Hati Yazid berdesir kencang melihat sepintas wajah Aisyah.

Dua minggu berselang, acara pertunangan dilaksanakan. Dua keluarga tersebut tampak sumringah. Namun, rona keragu-raguan terpancar dalam wajah Yazid. Beberapa karyawannya merasa aneh dengan ekspresi dari tuannya itu. Untuk menutupi keragu-raguannya itu, Yazid menyerengeh tersenyum kepada keluarga dan beberapa tetangga yang menyaksikan. Acara khitbah digelar dengan meriah.

Acara pernikahan akan digelar 3 bulan lagi. Dalam 3 bulan itu, Yazid bolak-balik ke kota dan kampungnya. Satu hari untuk mengontrol restoran yang dipimpinnya, selebihnya ke kampung untuk belajar langsung bersama Buya. Dari pagi hingga petang Yazid seolah nyantri. Di pesantren, Yazid mulai belajar pokok agama (ushul) dan cabang agama (furu), berbagai pertanyaan ditanyakan kepada Buya, tetapi kali ini Buya mengajarkan adab kepada Yazid bahwa sebelum guru menyelesaikan penjelasannya jangan memotong untuk bertanya. Yazid mengangguk tanda mengerti. Selain itu, Yazid diajarkan berbagai fikih dalam pandangan mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali. Yazid mulai mengerti bahwa perbedaan yang selama ini diperdebatkan masing-masing memiliki dalil dan itu terjadi pada wilayah cabang agama, bukan pokok.

Yazid mulai senang belajar di pesantren. Sedikit demi sedikit ia bisa menerima perbedaan dan tidak cepat mencap orang lain sesat. Buya mulai menjelaskan mengenai tahlilan, selametan ibu hamil (4 dan 7 bulan), perayaan maulid, isra miraj, hingga hal kecil seperti bersalaman selesai solat. Pikirannya mengenai hal-hal bid’ah yang ia pahami dulu kini sudah berkembang.

Yazid mulai berbeda memahami cara dakwah. Ada wilayah keyakinan, ada wilayah dakwah. Yazid tetap bercelana di atas mata kaki, karena di bawah mata kaki –isbal- masuk neraka, itu keyakinannya. Namun, ia tetap menghormati keyakinan orang yang berbeda dengannya dan tidak berani mencap sesat. Biarlah ini jadi wilayah keyakinannya karena ia pun percaya ulama yang lain tentu punya dalil. Ia percaya bahwa ulama yang mengikuti mazhab Syafii tentu bukan orang sembarangan dalam beribadah. Kini, dakwahnya menyeru orang ke masjid, mengenalkan kembali sejarah islam kepada pemuda, dan bisa menerima perbedaan. Tak ada lagi kata sesat dan bid’ah yang terujar. Yazid bahkan menyeru, “berlapang dadalah terhadap khilafiyah furuiyah atau perbedaan yang bersifat cabang, bukan pokok agama.”

Buya memberikan 4 jilid buku berjudul 40 Masalah Agama karangan KH. Siradjuddin Abbas dan buku berjudul 37 Masalah Populer karangan ustadz kondang H. Abdul Somad, L.C., M.A. Buku tersebut berhasil Yazid baca tuntas dalam waktu 1 bulan. Kini pandangannya benar-benar berubah. Solatnya masih seperti dahulu tepat waktu berjamaah di masjid, tetapi langkahnya berbeda. Apabila dahulu langkahnya ragu diiringi muka masam jarang terlihat tersenyum, kini langkahnya pasti diiringi senyum manis yang terlihat begitu tulus. Hal itu disaksikan oleh jamaah lainnya. Beberapa permasalah agama ia jelaskan dengan diksi yang tepat penuh kehati-hatian agar tak ada yang tersakiti. Tak ada lagi nada keras dan raut marah dalam menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan agama.

Hari pernikahan digelar sederhana dengan jamuan yang luar biasa. Makanan utama berjejer di tengah. Sementara itu, makanan lainnya menghiasi pelataran gedung. Tampak santri yang biasa mengaji kini berubah berpenampilan koki, bersiap melayani para tamu. Dengan berbagai pertimbangan, akad digelar di tengah gedung bukan di masjid. Terdengar saksi mengatakan, “sah...sah”, pertanda Yazid dan Aisyah sudah resmi menikah. Dua keluarga beserta para tamu yang menyaksikan terlihat haru. Mata Yazid dan Aisyah berkaca-kaca.

Yazid berbahagia tinggal di lingkungan pesantren Buya. Namun, cuti yang diberikan perusahaan hanya 2 minggu. Waktu tersebut digunakan Yazid dan Aisyah untuk berbulan madu sebab buya menyarankan mereka agar pergi jalan-jalan dan berbulan madu di tempat lain. Yazid dan Aisyah pun pergi berbulan madu ke daerah atas 20 kilometer dari kampungnya, menyewa villa selama seminggu. Benih-benih perasaan cinta antara Yazid dan Aisyah mulai berkembang pesat. Setiap hari mereka berdua mengaji dan mendiskusikan masalah agama. Namun, ternyata Yazid tak melulu serius, terkadang Yazid bercanda dan melucu. Ternyata Yazid tak seserius yang Aisyah bayangkan. Rasa cinta Aisyah kian membuncah, ucapan syukur seringkali tergumam.

Hari itu, Yazid dan Aisyah hendak pamit kepada keluarga. Aisyah akan dibawa Yazid tinggal di kota tempatnya bekerja. Di pesantren tampak Buya dan ibu Aisyah, Abdullah, ibu Yazid, beserta keluarga besar berkumpul. Yazid dan Aisyah memeluk satu persatu keluarganya. Mereka memasuki mobil dan berangkat. Ucapan salam dan lambaian tangan terlihat. Baru 3 meter melaju, Yazid berhenti, turun dari mobil, dan kembali menghampiri Ibu. Yazid memeluknya. Di sela-sela pelukannya, Yazid melirih.

“Ibu, kakak, Buya, dahulu ketika hendak melamar Aisyah, aku berkata bahwa ini adalah bid’ah cinta yang kulakukan. Namun, bid’ah ini ternyata jalan sunnah hidupku yang baik dan membuka pandanganku. Maafkan kesalahanpahamanku.”

Penulis, Imam Akhmad, M.Pd. Duta Bahasa Jawa Barat 2016.
Seorang Dhaif yang mendedikasikan waktu luangnya untuk membaca dan menulis.

1 komentar: